9:06 AM | Author: Akhmad Fais Fauzi
Sampe kapan mereka bilang “kamu terlalu muluk2!” atau “itu sih idealnya…”


Idealis, sebuah aliran paradigma keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh seseorang. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir. Ketika berdiskusi dengan beberapa teman tentang aliran paradigma ini, ternyata mereka memiliki alirannya masing-masing. Ada yang beraliran idealis, ada yang super idealis (mungkin lebih pas dibilang utopis), ada yang realistis, ada yang kelewatan realistis (dibaca: pesimistis), dan juga ada salah seorang teman yang beraliran iderealistis (dia ngarang sendiri). Menurut saya pribadi, tidak ada yang salah dari setiap aliran, paradigma, atau cara pandang tiap orang tersebut. Sebab saya yakin, dalam setiap aliran ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kebanyakan teman-teman saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, beranggapan bahwa pandangan hidup yang idealis adalah paradigma yang harus dijauhi agar kehidupan berjalan dengan baik. Biarkanlah arus kehidupan yang membawa kita, ikuti situasi kondisi lingkungan yang ada (walaupun terkadang mengabaikan nilai kebenaran yang dia yakini). Atau istilahnya “dalam hidup gak usah macam-macam, ikuti arus aja”.

Namun bagi saya pribadi, saya memilih untuk berpandangan idealis. Idealis disini dalam artian mau melakukan perubahan baik dari kondisi buruk saat ini, mampu berbuat lebih dari apa yang diminta, berpikir out of the box dan tidak terpaku dengan apa yang ada, memimpikan dan mengejar sesuatu yangdiluar kebiasaan, tetapi tetap pada tataran nilai-nilai yang ada (bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya, maupun kebiasaan).

Seringkali dalam kehidupan saya bertemu dengan orang yang realistis berlebihan atau mungkin pesimistis berkata, “kamu terlalu muluk2!”, atau “itu sih idealnya..” Misalkan ketika saya sedang naik bus kota dan berbicara kepada teman saya “wah seharusnya kendaraan umum ini ditingkatin kualitasnya, mulai dari jangan melebihi kuota, kursinya diperbagus, AC nya diperbaiki, kondekturnya ramah, supirnya mengendarai bus dengan tidak ugal-ugalan, emisi buangnya tidak polutif, tempat turun/naik (titik transit) dekat dengan tujuan perjalanan atau pusat kegiatan, ditambah dengan peningkatan kualitas kendaraannya secara umum. Jika semua itu dilakukan, pasti akan banyak yang pindah dari pengguna mobil atau motor pribadi menjadi naik bus”. Menanggapi pernyataan saya, teman saya berkata, “ah kamu terlalu mimpi, muluk-muluk, terlalu berfantasi. Itu kan idealnya, susah tau diterapin”.

Pendapat saya dalam hal ini, memang upaya memperbaiki suatu hal tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tapi ketika ingin menuju keadaan yang lebih baik, kita harus idealis, optimis, dan perlu ada perubahan. Perubahan ini menurut saya menjadi kata kunci dalam paradigma idealis. Dunia tak akan membaik ketika tak ada mimpi untuk merubahnya. Tidak akan pernah bangsa ini merdeka jika pahlawan kita tidak memiliki idealis untuk merdeka. Tidak akan pernah orang kulit hitam menjadi pemimpin, bos, atu bahkan artis di Afrika Selatan dan belahan dunia lain jika Nelson Mandela tidak beridealis melawan politik apartheid. Dan jauh lebih dari itu, tidak akan terang benderang masa kini jika Nabi Muhammad tidak memberikan intervensi perubahan pada masa jahilia pada masa tersebut. Jadi jelas, perubahan besar terjadi karena adanya idealis dari sesuatu yang dianggap benar. Jangan terjebak dengan pernyataan “kita tidak akan bisa, sulit diterapkan, atau kamu terlalu muluk”.

Namun begitu, hal yang harus digaris bawahi dalam hal ini adalah idealis bukanlah mimpi dan fantasi belaka. Idealis harus tetap logis dan berdasar pada nilai-nilai yang ada. Pandangan realistis bukanlah musuh dari pandangan idealis. Idealis dapat terjadi karena keinginan realistis kita untuk berada dalam kondisi yang benar dan ideal. Keduanya berjalan searah dan selaras, bukan berbanding terbalik.

Selamat ber-idealis untuk mewujudkan kondisi ideal!        
Category: , , |
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: