9:37 AM |
Author: Akhmad Fais Fauzi
Hanya Sekedar Catatan Pribadi
Panik. Itulah hal pertama yang
saya rasakan ketika tidak bisa mengakses akun instagram saya. Saya berharap
akun tersebut tidak bisa diakses akibat kesalahan penulisan username atau
password. Tapi setelah berulang kali saya mencoba, akhirnya saya menyadari
bahwa bukanlah karena kesalahan penulisan username atau password, tapi akun
saya telah dihack atau dihapus seseorang, atau mungkin juga dihapus oleh
official instagram. Sebab ketika saya mencari nama akun saya di browser dan di
akun instagram online shop keluarga saya, saya tidak menemukan adanya nama akun
saya. Keadaan tersebut membuat keadaan saya bingung dan pasrah.
Bukanlah karena saya tidak akan
bisa bersosmed via instagram lagi yang membuat saya bingung, sedih dan kecewa.
Tapi lebih karena akun instagram milik saya adalah kumpulan album kenangan,
potret momen-momen tak terlupakan dari suatu tempat, peristiwa, ataupun
kebersamaan bersama keluarga, sahabat, dan teman-teman di sekitar saya sejak awal
tahun 2012. Lebih dari itu, instagram saya juga merupakan album foto ‘jurnalistik’
versi pribadi yang disertai dengan caption gagasan, ide, pendapat, kritik, dan
hal-hal yang sedang mengganggu pikiran saya di saat-saat tertentu. Sebab
sebelumnya saya berpendapat bahwa media sosial paling baik dalam mengemukakan
gagasan, ide, atau pendapat adalah instagram. Karena menurut saya, foto
memiliki makna yang lebih luas dari ratusan kata, apalagi ditambah dengan
caption yang biasanya saya pertegas dengan beberapa kalimat panjang. Namun kini
saya merasa semua album ide pribadi sejak awal tahun 2012 tersebut terasa telah
hilang seperti ditelan bumi yang tak akan mungkin kembali lagi.
Jika boleh mengingat-ingat konten dari instragram saya,
setidaknya terdapat 4 garis besar dalam album kenangan tersebut.
Pertama, berisi lesson learned
dari lokasi atau tempat yang saya kunjungi. Hal ini berkaitan dengan interest
dan latar belakang saya sebagai perencana kota, saya selalu memfoto dan
menuliskan hal-hal apa yang bisa dipelajari dari kota atau daerah yang
dikunjungi. Sebut saja tentang keindahan wisata, kebersihan daerah, ketegasan
peraturan, kedetilan perencanaan, kekuatan identitas atau tema lokal,
kemandirian daerah, kelebihan dominasi pejalan kaki dan pesepeda dibanding
kendaraan bermotor, kehijauan dan daerah resapan air, keorientasian
pengembangan bangunan menghadap sungai atau laut, kekuatan menarik investasi
namun tidak mematikan ekonomi lokal, ketinggian aspek budaya dan sejarah yang
dipertahankan, kekuatan pendidikan masyarakat yang tinggi, ketanggapan dan
kepedulian terhadap perubahan zaman, ketepatan waktu transportasi umum,
ketanggapan terhadap ancaman bencana atau mitigasi, keharmonisan dalam
keberagaman, kesediaan permukiman bagi seluruh golongan, kemerataan
pengembangan kota dan wilayah, kenyamanan jalan dan ruang terbuka, keberpihakan
kepada masyarakat umum ataupun masyarakat miskin yang tertindas, keamanan dan
ketertiban kota, keterkaitan antar wilayah yang baik, kehebatan kapasitas
daerah atau pemimpinnya, kesediaan infrastruktur berbasis teknologi yang dapat
dijangkau, kehumanisan perilaku manusianya, hingga keberlanjutan kota dan
keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berdampak pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembelajaran hal semacam itu saya
peroleh dari kunjungan ke berbagai tempat yang saya abadikan dalam instagram
seperti kota-kota di Jerman (misalnya Kassel, Stuttgart, Koln, Weimar, Bonn,
Hann Muenden, Frankfurt, Heidelberg), kota-kota di Malaysia (misalnya Kuala
Lumpur, Putra Jaya, Johor Bahru, Petaling Jaya), daerah-daerah di Singapura
(misalnya Queenstown, Jurong, Orchard, Marina Bay, Kampong Glam, Chinatown, Sentosa
Island), kota-kota di Thailand (misalnya Bangkok, Damnoen Saduak, Ratchabury),
ataupun kota-kota di Indonesia (misalnya Yogyakarta, Medan, Pontianak, Kayong
Utara, Karimata, Tanjung Selor, Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, Sleman,
Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Kota-kota di Pantura Jakarta - Surabaya,
Kota-kota di Pansela Pulau Jawa, Denpasar, Mataram, Gili-Lombok, Makassar,
Minahasa, Sinjai, dan berbagai daerah lain) yang kesemua itu memberikan lesson
learnednya masing-masing yang telah tertulis dalam instagram yang hilang
ditelan bumi tersebut.
Kedua, berisi momen penting bersama keluarga, pasangan, sahabat,
dan teman-teman yang tak akan mungkin terulang kembali. Data foto bersama
mereka pun belum ter back up, sehingga saya sangat menyayangkan hilangnya
momen-momen yang terupload dalam instagram tersebut. Semoga Allah memberkahi
semua orang-orang di sekitar saya.
Ketiga, berisi momen berbagi sedikit pengalaman, pengetahuan, dan
dakwah kepada teman-teman dalam akun instagram. Walaupun tidak banyak, tapi
saya beranggapan tiap orang memiliki tanggung jawab moral, intelektual, serta
tanggung jawab sosial untuk dapat memberikan manfaat melalu berbagi ilmu kepada
orang-orang di sekitarnya.
Dan keempat, instagram tersebut berisi pendapat, gagasan, atau
kritik dengan cara halus dari isu-isu kontekstual yang terjadi. Sebut saja
pendapat dan kritik tentang PKL, informalitas perkotaan, penggusuran, kebijakan
pemimpin, kepedulian terhadap ketidakadilan kemanusiaan seperti di Palestina,
serta apresiasi terhadap nilai-nilai lokalitas yang sesuai dengan norma dan
hati nurani manusia.
Namun, itu semua hanya sekedar sedikit kenangan dari album instagram
pribadi yang telah hilang. Kini nasi sudah menjadi bubur, saatnya tinggal
memberi bumbu dan lainnya agar bisa dinikmati. Instagram telah hilang, saatnya
tinggal menarik hikmah dari semua ini. Setelah benar-benar memikirkannya,
mungkin ini jalan yang paling baik dengan hilangnya akun instagram. Mungkin ini
juga teguran dari-Nya karena selama ini saya hanya sibuk berbagi via instagram
dan malas menulis hal yang lebih bermanfaat, kurang banyak membaca dan
mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Mungkin juga dengan hilangnya instagram ini
adalah momen saya untuk fokus memperbaiki dan menghadapi masa depan. Ya, saya
harus lebih fokus dengan berbagai pekerjaan saya. Pekerjaan sebagai tenaga ahli
di salah satu kementerian yang berbasis dalam tata ruang, pekerjaan saya
sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, pekerjaan
sebagai penanggung jawab perusahaan konsultan di bidang perencanaan, dan yang
paling penting adalah pekerjaan mulia menjadi seorang ayah yang bertanggung
jawab terhadap istri dan anak yang saat ini masih di dalam kandungan. Hal lainnya
yang saya dapat dari hilangnya instagram ini adalah saya harus lebih fokus membaca
dan menulis dibanding bersosmed. Hal yang jauh lebih mendasar, prinsipalm dan
fundamental adalah saya harus lebih fokus mencari Ridho Allah dan Ridho kedua
orang tua saya.
Jakarta, 22 September 2016